Mushola Masa Kecil

Hari sabtu kemarin saya pulang kampung, seperti biasanya. Jika sebagian orang pulang kampung setahun sekali, saya sebulan sekali, he… Mumpung sehat, orang tua masih ada, saudara-saudara juga sering kumpul, jadi pulang kampung pilihan yang sangat logis. Dan satu lagi, karena kampung saya dekat. Jarak dari tempat dinas hanya 15 menit perjalanan.

Biasanya saya pulang kampung pagi atau siang hari. Menjelang magrib, sudah pulang. Pernah juga datang sore pulang malam, tapi bisa dihitung sebelah tangan. Saat di rumah ortu, saya tidak pergi ke mushola. Sholat di rumah saja. Alasannya karena biar cepat dan praktis. Tapi itu cuma alasan verbal, yang tersembunyi di hati…… Rahasia!

Sabtu lalu berbeda. Mungkin karena keadaan rumah kurang kondusif, atau mungkin juga sedang dinaungi hidayah. Ketika suara azan berkumandang, saya langkahkan kaki ke mushola. Jarak dari rumah ortu ke mushola hanya dibatasi sekitar 6 rumah. Kalau dihitung menit, paling 3 menit jalan santai sampai di depan pintu mushola. Jalan ke surga itu dekat dan mudah, tapi kenapa kita merasa susah melaksanaknya? lagi-lagi logika beralasan banyak.

Azan baru saja diakhiri dengan lafadz “laa Ilaha illa Allah”. Saya menuju tempat wudhu. Masih seperti dulu, air kurang lancar mengalir dari kran. Tidak ada antrian. Kaki kanan melangkah ke dalam rumah Allah, di susul kaki kiri. Mata saya berkeliling. Ruangan yang sejarak satu batang bambu masih lenggang. Satu orang sedang bersiap sholat qobliyah. Saya yakin, bapak itu yang tadi mengumandangkan azan.

Setelah salam, dari belakang seorang laki-laki sebaya saya melafalkan iqomah. saya kenal betul. Dia teman satu kelas waktu di sekolah dasar impres. Alhamdulillah bisa bertemu teman lama di rumah suci. Imam menuju mihrab, shalatpun dilaksanakan. Dari luar terdengar suara gaduh. Segerombolan anak masuk sambil bercanda. Mengingatkan saya pada memori lama. Dua puluh tahun yang lalu, saya ada diantara suara tersebut.

Abah adalah marbot mushola. Beliau yang mengumandangkan azan dan yang pasti menjadi imam. Untuk urusan iqomah, saya mendapat bagian. Abah sering kali menyuruh saya azan, tapi saya masih belum berani waktu itu. Mengumandangkan azan berarti siap-siap mengumbar suara di langit kampung. Suara azan dari microphone langsung tersambung ke toa di atas genteng mushola. Semua orang pasti mendengarkan. Meskipun sangat jarang yang memenuhi penggilan. Alasan menolak permintaan Abah karena saya kurang pede dengan kualitas suara yang saya miliki. Terlebih tidak jauh dari mushola ada rumah Ce … Apa hubungannya suara jelek dengan Ce…? he… maaf rahasia lagi.

Saya berdir di belakang beliau. Di samping saya ada beberapa orang teman sebaya. Mereka teman-teman sepengajian. Setelah selesai sholat magrib, kami tetap di dalam mushola. Abah selain menjadi marbot, juga mengajari kami cara membaca kitab suci. Tidak ada yang membayar. Abah pun tidak pernah meminta bayaran. Mengajar ngaji bagi Abah sudah menjadi panggilan. Sama seperti menjadi marbot. Dua profesi yang digeluti tanpa keluhan, meski miskin pemasukan. Selama bertahun-tahun menjadi marbot, Abah tidak pernah digaji. Bahkan untuk membayar rekening listrik mushola, abah harus memutar kepalanya. Beliau memanfaatkan tanah lebih di samping bangunan mushola. Tanah yang tidka luas itu ditanami berbagai macam tanaman. Dari mulai daun pandan, nanas sampai pepaya. Dari hasil penjualan palawija yang tidka seberapa itu beliau bisa membayar tagihan listrik. Kami pun bisa mengaji. andaikan listrik tidak dibayar, sepertinya kaki tidak akan tahan membaca Al-Qur’an di bawah lampu templok.

Itu kisah sekitar 20 tahun lalu. Saat Abah masih ada. Sekarang Abah sudah tiada. Beliau meninggalkan dunia fana dengan tenang, tanpa menyisakan harta. Hanya mushola yang masih berdir menjadi lambang kehidupan Abah di dunia. Dari sudut-sudut Mushola saya bisa membaca kisah hidup beliau. Sebuah kisah yang tidak pernah dihampiri gemilang dunia. Kisah orang kampung yang melaksanakan hidup hanya sebagai persinggahan. Benar-benar persinggahan.

Imam menyelesaikan wirid. Jamaah bersalaman. sama persis seperti dulu, waktu Abah masih ada. saya mengenal semua jamaah. Orang yang sama seperti kisah dua puluh tahun lalu. Mang Mansur, pemilik warung makanan anak-anak, Mang Safri, yang istrinya tukang nasi uduk langganan saya, dan seorang kakek yang namanya saya lupa ditambah wawan teman SD dulu. Jamaah yang istiqomah, di tengah zaman yang sangat progresif.

Bangunan mushola sudah lebih baik. Tanah sepetak yang dulu ditanami palawija sekarang sudah bertumbuh keramik. Teras mushola sudah lebih luas. Mickrophone dan mixernya juga lebih baik, menjamin kualitas suara yang keluar tidak separah dulu. Tapi jamaahnya masih belum ada perbaikan. Jamaah dua puluh tahun lalu dengan sekarang masih hampir sama persis. Hanya anak-anak saja yang berubah. JIka dulu saya termasuk ke dalam grombolan anak-anak, sekarang peran saya sudah diambil oleh oleh anak-anak baru. Mungkin diantara anak-anak itu ada anak teman saya. Tapi bapaknya di mana? entahlah.

Next Post
Leave a comment

Leave a comment