Kata Siapa Kamu Salah

Seorang teman menghampiri saya. Dia cerita tentang prilaku anak buahnya. Diantara puluhan orang murid yang dia ajar, ada seorang yang harus mendapat perhatian lebih. Si murid bisa dibilang ‘badung’. Tapi kalau merujuk pada pendapat Munif Chatib penulis buku ‘Sekolahnya Manusia’ s murid tidak ‘badung’. Anak-anak memang berbeda. Mereka diciptakan dengan keunikan masing-masing. Ada yang senang dengan ketenangan, ada yang suka kegaduhan ada juga yang suka orang lain tenang tapi dia gaduh terus. Begitulah manusia.

Saya coba menyabarkan. Ternyata si teman sudah mendonasikan kesabarannya hingga hampir tetes terakhir. Dia sudah berusaha mendekati anak tersebut. Bertutur lembut, membelai dengan kasih, memperhatikan setulus ibu. Tapi yang namanya anak-anak, kebaikan itu masih belum cukup. Sebenarnya untuk urusan ini bukan hanya anak-anak, orang tua juga sama. Kebaikan itu membekas jika kita yang melakukannya, ketika orang lain yang melakukan kebaikan maka akan bersifat temporer.
Tidak usah jauh-jauh melihat orang lain. Coba saja kita see deep inside, melihat ke dalam diri sendiri. Kita punya manusia istimewa yang bernama ayah dan ibu. Yang terakhir disebutkan bahkan pernah mempertaruhkan nyawa demi kita. Kebaikannya sudha tidak bisa diukur lagi. Sampai ada pepatah terkenal ‘Kasih ibu sepanjang jalan’. Coba ukur aja jalan, berapa juta kilo tak terhingga sepanjang masa. Orang yang sudah sangat baik itu masih juga kita ‘ambeki’. Kebaikan ibu yang segunung saja bisa hilang hanya dengan setitik kealpaan.
Kepada teman itu saya tuturkan.
Saya sering kecewa bukan karena orang lain mengecewakan saya. Bukan sama sekali. Saya kecewa karena terlalu mengharap lebih dari orang lain. Saya berbuat baik kepada orang lain, kemudian diam-diam saya berharap semoga dia menjadi baik. Setelah menjadi baik, semoga dia juga berbuat baik kepada saya. Bahkan terkadang harapan itu menjadi liar. Saya berbuat satu kebaikan kepadanya, siapa tahu nanti dia berbuat kebaikan lebih banyak kepada saya. Atau bisa juga yang lebih ringan. Saya berbuat baik kepada dia, semoga ketika dia menjadi baik tidka lupa kepada saya. Atau yang sedikit malu-malu, saya berbuat baik kepada dia semoga Tuhan membalas kebaikan saya.
Urusan pahrim lah yang membuat saya kecewa. Tapi kalau tidak pamrih, susah juga. saya kan manusia. Tuhan sendiri mengajarkan kepamrihan. “Kalau kamu baik di dunia akan mendapat sorga”
Jadi kekecewaan itu biasa. Anak yang badung itu juga biasa. Kalau sudah biasa kenapa juga kita menjadi luar biasa. Kemudian berbuat dramatis dan sedikit lebay. Menunjukkan keprihatinan kepada setiap orang. Menceritakan kesulitan seolah-olah kita orang yang paling sulit di dunia. Coba lah, sederhana saja.
Berarti curhat dilarang? bukan begitu, curhat itu sehat. Selama curhat dengan orang yang tepat dan cara yang tepat pula.
Sedikit lagi. Perihal anak yang suka melanggar, kemudian terus melakukan pelanggaran meski telah didekati dicegah dan juga direvarasi. Tanang saja. Kalau sudah begitu tidak usah banyak dipusingkan. Harus dibiarkan gitu? jangan dibiarkan. Katanya tadi tidak usah dipusingkan? Tidak usah dipusingkan bukan berarti dibiarkan kan!
Pusing itu ada dalam diri kita. Kita pusing karena kebanyakan mikir tapi tidak bisa mencari solusi. Mikir terus, masalah jalan terus. Lama kelamaan bisa stress. Membiarkan berarti tidak tangung jawab. Jangan terlalu dipikirkan dan jangan dibiarkan. Trus bagaimana?
Begini… anak itu melakukan pelanggaran itu karena dia tahu atau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Kalau dia tahu itu salah pasti dia berusaha memperbaiki. Kalau dia tidka tahu itu salah harus diberi tahu, manusia kalau suda diberitahu pasti tahu kan. Kalau sudah tahu pasti memperbaiki diri. Kalau pura-pura tidak tahu, pasti diperbaiki juga akan pura-pura baik. makanya pura-pura saja menasehati, pura-pura juga memberi sanksi, pura-pura juga berbuat baik. Kalau sudah begitu kan sama-sama. Setidaknya tidak ada yang tersakiti.
Tapi pada dasarnya manusia kalau sudah berkali-kali melakukan sebuah kesalahan dia akan merasa baik-baik saja. Baginya kesalahan itu adalah kebiasaan, dan kebiasaan akan menjadi nilai. Maka jangan pernah mempersalahkan orang yang suka dan rajin alias hobi berbuat salah.

Leave a comment

Leave a comment