Ketika Teman Saya Sakit

Beberapa waktu lalu seorang teman bercerita. Dia sedang mengalami masa sulit. Hidupnya seolah menyempit. Pokok permasalahan bermula dari keinginna yang besar untuk hidup nyaman. Saya yakin semua orang ingin itu. Mengharapkan dapat hidup tenang. Punya banyak uang. Memenuhi kebutuhan keluarga. Betu pula teman saya itu. Dia banting tulang usaha untuk membuat senang istri. Kebetulan anaknya juga sudah dua. Jadi bertambah banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.

Singkat cerita dia mendapat orderan. Mencetak baju untuk kelompok tertentu. Si pemesan bukan orang asing. Dia sudah pernah berkerja sama. Hasilnya tidak mengecewakan Tapi kali ini partai besar. Pesanan yang mencapai angka ratusan juta. Teman saya maju terus. Dia tipe orang yang tidka mau ditinggal peluang. Kalau ada peluang bagus mengapa menunda.

Sebagai modal awal, teman saya pinjam uang. Pesanan sudah dapat dipenuhi tinggal pengiriman. Setelah pengiriman ke almat tertentu di pulau yang jauh, teman saya tingal menunggu pembayaran. Sayang harapannya tinggal harapan. Si pemesan tidak kunjung mengirim uang. Temna saya berusaha mengejar. Tapi sayang si pemesan hilang. Seolah ditelan bumi. Tidak ada jejak kaki yang tertingal.

Hari berganti minggu dan bulan pun berlalu. Dia sudah mulai ditagih oleh orang yang meminjamkan modal. Teman saya mulai bimbang. Sebagai seorang lelaki yang bertanggung jawab dia berusaha mencari solusi. Dia meminjam uang kepada orang lain. akhirnya sebagian hutang ditutup dengan utang yang lain. Dalam catatan dia sedang berhutang kepada dua orang.

Untuk menutupi hutang dia bekerja keras. Segala model pekerjaan dia kerjakan. dari mulai bergadang di kios, membuka lapak di pusat keramaian, ikut organisasi dll. Setiap bulan hasil kerja karasnya dipake untuk menutupi hutang. Meski sudah bekerja keras, tetap saja masih kurang. Kewajiban membayar pinjaman terlalu besar. Dia pun sering mendapat tekanan. Istrinya juga ikut tertekan.

Dalam keadaan yang sangat kritis tersebut, dia jatuh sakit. Tenaga sudah diperas untuk bekerja. Pikiran juga terkuras mencari jalan keluar. Perasaan juga tertekan melihat istri yang mulai gundah. Meski sakit, tagihan tetap berjalan. Dia masih sempat menerima telpon dari penagih hutang. Bahasa halus sudah mulai ditingalkan. Kesakitannya dianggap alasan untuk mangkir. Dia pun bertambah sakit. marah yang bergejolak dalam dada membuat jantungnya bergetar lebih cepat. Andai tidak memiliki tanggungan anak-istri mungkin kematian akan menjadi solusi. Biarlah malaikat yang mengurusi hutang diakhirat. Dia sudah pasrah. Namun anak dan istri tidak mungkin ditinggal. Apalagi diwarisi hutang. Dia tidak mau menjadi pecundang. Pilihannya hanya satu, bersabar.

Sebuah pilihan yang ternyata memberikan angin segar. Selalu ada obat bagi tiap-tiap penyakit. Baginya obat mujarab saat itu adalah sabar. Hatinya menjadi bersih, pikiran menjadi jernih. Dia menjadi lebih yakin kepada Sang Kuasa. Nasibnya tentu bukan hanya akan dipikul dia sendiri. Tuhan memiliki skenario. Tuhan pula yang menyimpan jawaban.

Kabar tentang sakitnya teman saya tersebar. Beberapa kenalan datang menjenguk. sahabat juga sering berkunjung. Kerabat dan kelaurga menjadi tambah erat. Dia bertambah yakin dengan suratan takdir. Dia yakin tidaka akan mati pada saat itu.

Teman saya tergolek di rumah sakit beberapa hari. Selama itu juga banyak yang datang menjenguk. Mereka datang tidka dengan tangan hampa. Mayoritas membawa hadian. Uluran tangan para penjenguk sangat bermanfaat. Setelah sembuh dan dibolehkan pulang dia membuka amplop dari sahabat dan rekanan yang menjenguk. ternyata melebihi biaya rumah sakit. Bahkan masih ada sisa yang bisa dipakai untuk menutupi hutang. Keluar dari rumah sakit, teman saya menjadi lebih sehat. BUkan karena terapi dokter. Tapi karena dia bertambah yakin bahwa setiap kesulitan memiliki dua kebahagiaan.