Poso Puso

Bagi petani di jawa tengah dan timur istilah puso sudah mengakar di telinga. Mereka yang bergelut di sawah sering head to head dengan kata ini. Puso adalah momok yang paling menakutkan. Bagi petani lebih baik anaknya gagal naik kelas dari pada harus menghadapi puso.
Bisa dikatakan puso sudah menjelma musuh bersama di kalangan petani. Puso ibarat drakula penghisap darah, selalu datang saat harapan menjulang kemudia dia sendiri yang menghancurkan. Petani yang menanam padi. Setiap waktu marawatnya; menyirami, mengaliri dan menutrisi. Pada giliran waktu panen tiba, puso datang. Petani gigit jari. Puso menang.
Sangat menyakitkan. Usaha tanpa lelah yang berlangsung selama sepertiga tahun hilang tak berbekas. Bulir padi yang diharap habis amblas. Bahagia yang dicita, duka yang menyapa. Puso atau gagal panen adalah nestapa tak terkira bagi para petani. Penyebab utamanya adalah hama. Tikus si rakus merupakan tokoh utama dibalik fenomena puso di kalangan petani.
Bulan puasa sudah menjelang garis finis. Tidak terasa dua puluh tujuh hari kita lewati ramadhan. Menahan hawa nafsu selama itu sebuah prestasi yang pasti dicatat oleh malaikat. Dari subuh hingga magrib tidak makan meski yang halal. Tidak berhubungan dengan istri. Tidak melakukan perbuatan buruk yang mengurangi kualitas puasa.
Disamping meninggalkan perkara yang membatalkan puasa, kita juga melakukan banyak kebaikan. Al-qur’an yang selama sebelas bulan menjadi hiasan di atas lemari kembali disapa. Ayat demi ayat kita baca hingga tak terasa tiga puluh juz selesai dibaca. Sholat sunah dilaksanakan seiring dengan yang wajib. Bangun sahur didahului dengan tahajud. Pagi diisi dengan dhuha. Malamnya dua puluh rakaat tarawih dan tiga witir dipenuhi. Zakat fitrah telah dibayarkan. Demikian juga zakat mal disalurkan kepada yang berhak.
Hampir sebulan penuh kita menanam. Selama itu juga kita mengaliri diri dengan kebajikan. Selama itu kita memupuk diri dengan kebaikan. Selama itu kita menahan diri dari segala hama yang bisa menggagalkan puasa.
Poso (puasa dalam bahasa jawa) sudah hampir tuntas. Lebaran tinggal tiga langkah lagi. Hari kemenangan yang dijanjikan sebentar lagi kita raih. Tapi jangan santai. Selama kaki dan tangan belum mencapai garis finish, perlombaan belum selesai. Tiga hari menjadi pertarungan hidup-mati. Apakah kita bisa menang atau malah disaat harus panen kita terserang puso.

Malaikat tanpa Sayap

Malam sepi menjadi saksi

Saat penghuni rumah hangat dipeluk mimpi

Dia tepis selimut ke tepi

 

Dingin dilawan api

Sepi dihalau bakti

Sendiri…

 

Minyak menggoreng lauk

Air menanak nasi

Penggorengan pun penuh bumbu

Panci sibuk menahan panas

 

Piring-piring tersaji

Gelas pun berisi

 

Masih dia melangkahkan kaki

Lembut tangannya mengusap

Bangun… hidangan sahur sudah siap

 

Dia bukan bidadari

Setiap hari menyisir tanah dengan kaki

Dia bukan peri

Setia hari menampakkan diri

 

Kau bangun sambil mengucek mata

Bibirmu bergetar tapi bukan berdoa

Bukan juga balas jasa

Kau melenguh sambil mengeluh

“aku masih ngantuk”

 

Dia bukan bidadari

Setiap hari memastikan perutmu terisi

Dia bukan peri

Setiap hari melayanimu bak putri

 

Dia tidak berhenti

Meski peluh dan lelah dibalas keluh

Dia terus berbakti

Meski jasanya tanpa diberi pamrih

 

Dia malaikat tanpa sayap

merayap dalam gelap

menerangi meski senyap

 

Dia malaikat tanpa sayap

terus berbuat tanpa harap

Membeli Surga dengan Uang

Tentu kita pernah mendengar atau membaca ungkapan berikut; money can buy woman but not love, money can buy bed but not rest, money can buy house but not comfort…
Uang bisa membeli kesenangan tapi tidak kebahagiaan.
Memang tidak salah ungkapan tersebut. Tapi tidak bisa dikatakan benar total. Uang bisa membeli kebahagiaan. Bahkan uang bisa menyegel satu tempat di alam keabadian lengkap dengan segala kesenangannya.
Hilangkan terlebih dahulu fobia terhadap Korun. Ketakutan akan terjerumus seperti tokoh antagonis di zaman nabi Musa harus diimbangi dengan keinginan berkontribusi seperti sahabat Nabi, Utsman bin Affan. Sehingga cara pandang kita terhadap harta menjadi adil.
Memang benar Korun celaka karena hartanya. Tapi jangan lupa bahwa sayyidina Utsman menjadi tokoh idola karena harta juga. Korun berjalan di atas bumi dengan mengangkat kepala, tangan terkepal dan dada membusung. Utsman berjalan dengan sedikit merunduk, tangannya terbentang, dadanya terbuka. Siapa saja siap dirangkulnya.
Jika telinga kita sering dijejali kata ‘jetset’ oleh media yg ditujukan kepada kelompok manusia dengan limpahan harta, Utsman bin Affan adalah pemuka kaum jetset Makkah. Di usia muda beliau sudah menjadi saudagar. Urusan jual-beli sudah mendarah daging. Ayahnya, Affan adalah saudagar terkemuka. sejazirah Arab mengenal keluarga Affan sebagai enterpreneur handal.
Tumbuh di keluarga saudagar, dialiri darah enterpreneurship menjadi modal Utsman bergaul di kalangan bangsawan. Maka ketika khadijah binti khawalid menikahi seorang pemuda bernama Muhammad, Utsman langsung menjadi karib. Hal itu terjadi karena keluarga Khawalid termasuk ke dalam jajaran elit pengusaha di mekkah.
Sejarah mencatat Utsman bin Affan berani mengeluarkan harta demi perjuangan sahabat dekatnya. Saat Nabi menyeru muslimin untuk memberi bekal bagi pasukan yg akan berangkat ke medan perang, Utsman maju paling depan dengan donasi yang hampir mencukupi seluruh kebutuhan pasukan. 
Jangan pula dilupakan peristiwa paceklik yang sempat menimpa Madinah. Orang banyak kelaparan karena gandum didapat. Ketika satu kabilah dagang datang membawa ratusan karung gandum, Utsman bin Affan memborong seluruh barang dagangan. Para pedagang Mekkah berebut ingin membeli untuk dijual kembali kepada masyarakat. Dengan tegas Utsman menolak, ‘aku telah berniaga dengan Allah, seluruh gandum akan aku bagikan kepada muslimin’
Ingat juga peristiwa sumur bermata air jernih milik Yahudi. Sumur yg terkenal dengan kejernihan serta kesegaran airnya tersebut menjadi komoditas komersil. Yahudi si pemilik sumur menjual air dengan harga tinggi. Umat islam di Madinah sangat tertekan. Di satu sisi mereka membutuhkan air sumur itu, di sisi lain mereka kesulitan memenuhi harga yg dipatok si Yahudi.
Utsman bin Affan yg mengetahui perihal sumur tersebut datang kepada si Yahudi. Negosiasi berjalan alot karena Yahudi tidak mau kehilangan aset terbaiknya. Dengan kecerdasannya Utsman berhasil melakukan deal dengan Yahudi. Utsman membayar sejumlah uang kepada Yahudi untuk mengambil manfaat dari sumur tersebut selama tiga hari. Empat hari berikutnya, Yahudi boleh menjual air sumur kepada umat islam.
Masa tiga hari dimaksimalkan oleh muslimin. Air ditimba untuk memenuhi kebutuhan selama satu minggu. Yahudi gigit jari. Haknya yg empat hari tidak berbuah sepi. Yahudi tidak bisa mencegah muslimin menimba dari sumurnya karena Utsman telah membayar sesuai kesepakatan. Maka keputusan akhir diambil si Yahudi. Dia jual seluruh haknya akan sumur tersebut kepada Utsman. Muslimin pun bersuka cita. Mereka bersyukur kepada Allah yang telah menjadikan hati seorang hamba sebaik Utsman bin Affan.
Dengan uangnya Utsman telah mendapat kesenangan. Berkat uangnya pula beliau berlimpah kebahagiaan. Dan uang tersebut juga berkontribusi pada satu tempat di surga. (more…)